Tuesday, November 07, 2017

KATAKAN TIDAK PADA HOAKS: Anti Hoaks Sang Pendidik


Oleh: Sutikno
SDN Karangmlati 2 Demak

 

Judul artikel ini menginatkan penulis pada jargon salah satu partai tentang korupsi. Jargon tersebut yaitu “Katakan Tidak pada Korupsi”. Korupsi dianggap bahaya laten sehingga jargon tersebut layak disandangkan padanya. Tingkat bahaya hoak dapat disandingkan dengan korupsi.
Ada sebuah film dengan judul The Hoax yang dirilis pada tahun 2007. Film ini dibintangi Richard Gere yang berperan sebagai Clifford Irfing. Film ini berkisah tentang penipuan yang dilakukan seorang penulis bernama Clifford Irving yang merekayasa sebuah biografi seorang miliuner Amerika bernama Howard Hughes. Inti dari film Irving membuat biografi berdasarkan imajinasinya sendiri karena dia tidak pernah melakukan wawancara dengan Howard Hughes (www.kapanlagi.com).
Kata hoaks ternyata sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring. Hoaks diartikan sebagai berita bohong (https://kbbi.kemdikbud.go.id). Sedangkan bohong bermakna tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya.
Sedangkan menurut kamus Wikipedia, hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya (https://id.wikipedia.org). Kamus Merriam-Webster mengartikan hoaks sebagai to trick into believing or accepting as genuine something false and often preposterous _werehoaxed by the website. Hoaks adalah suatu tipuan yang digunakan untuk mempercayai sesuatu yang salah dan seringkali tidak masuk akal melalui media online (https://www.merriam-webster. com).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan hoaks adalah berita bohong yang dibuat dengan sengaja untuk mengelabui orang lain dan disebarkan melalui media sosial. Pada peristiwa hoaks ada kesengajaan yang direncanakan dan dibuat sedemikian rupa seolah-olah benar adanya. Pembaca hoaks disajikan sedikit berita yang benar, yakni betul-betul terjadi namun ditambahi dengan berita palsu. Penerima hoaks pun tidak menyadarinya.
Perkembangan teknologi demikian pesat. Hal ini diikuti dengan perkembangan media sosial. Indonesia termasuk negara dengan penduduk yang banyak memanfaatkan internet. E-Marketer, sebuah lembaga riset pasar merilis  populasi netter Indonesia mencapai 83,7 juta orang pada tahun 2014. Diperkirakan pada tahun 2017 mencapai 112 juta orang. Sebuah peningkatan yang fantastis mengalahkan Jepang sebagai negara maju. Jepang menduduki peringkat 5. Data Kominfo menunjukkan 95% netter menggunakan internet untuk mengakses media social (Kominfo, 2013).

Kenali Hoaks

Hoaks yang beredar di media sosial setidaknya berupa teks, gambar dan video. Hoaks-hoaks tersebut dapat dikenali dengan cara melakukan uji silang. Kebanyaan pembaca kabar hoaks langsung menyebarkan tanpa memeriksa dulu kebenaran dari berita hoaks tersebut. Berita hoaks dapat dikenali dengan ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, judul berita berlebihan. Tujuan dari berita hoaks dengan membuat judul yang berlebihan untuk menarik minat pembaca. Semakin aneh semakin menarik minat (Tribunnews, 2017). Padahal isinya belum tentu menggambarkan judul berita. Bilamana sesuai dengan minat pembaca atau ada keinginan berbagai dengan yang lain, maka berita tersebut langsung menyebar dimana-mana. Contohnya hoaks tentang makan mie dan coklat. Judul beritanya, “Keracunan arsen sampai keluar darah bercampur nanah dari kelima panca indera”.
Kedua, isi berita berupa ancaman atau hasutan. Pesan yang disampaikan bernada provokatif (Susanto, 2017). Berita hoaks semacam ini biasanya beredar antara kelompok atau komunitas. Isi berita dapat berupa memuji yang berlebihan atau menghujat kelompok lain. Contoh, hoaks berisi info bahaya pemanis buatan yang mengatasnamakan Ikatan Dokter Indonesia. Contoh lain, pada tanggal 31 Januari 2017 terjadi kerusuhan antara Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI). Pembakaran markas GMBI oleh terjadi  lantaran ada hoaks di media social (Wiwaha, 2017).
Ketiga, gambar tidak alami. Gambar yang disebarkan merupakan hasil editan sehingga bagi yang melihat hanya sekilas dapat tertipu. Aplikasi semacam Photoshop bagi yang sudah mahir dapat digunakan untuk menggabungkan dua gambar yang berbeda menjadi satu gambar baru. Gambar ini kemudian diberi judul yang menarik. Misalnya, artis A selingkuh dengan B dan lain-alin.   
Keempat, mengandung kata-kata ajakan atau perintah. Paragraf terakhir pada pesan hoaks ada yang diselipi dengan kalimat, “Sebarkan ke keluarga dan teman Anda, jangan berhenti di tangan Anda”. “Hanya butuh waktu tiga menit, Anda tidak akan rugi”, “Jangan hapus pesan ini sebelum anda menforward-nya…” dan lain-lain.
Kelima, lakukan saring sebelum sharing  Berita hoaks beredar dengan cepat di media sosial. Berita-berita tersebut harus disaring dengan melakukan uji silang (crosscheck) melalui mesin-mesin pencari. Mesin pencari Bing, Google, Bing dan lainnya dapat dimanfaatkan untuk membantu memastikan kebenaran sebuah berita.
Bahkan media konvensional semacam koran telah menyediakan rubrik khusus membahas berita-berita hoaks. Misalnya Jawa Pos dengan rubrik “Hoaks atau Bukan”. Pada rubrik ini dibahas  hoaks yang sedang trend kemudian dibahas sisi ilmiah dan kerancuan isi berita hoaks. Pemuda Muhammadiyah juga meluncurkan aplikasi penyaring berita hoaks, yaitu ApssMu (Syadri, 2017). Bekerja sama dengan PT Inovasi Mitra Terpadu (IMT), aplikasi ini mengatur teknis filterisasi informasi hoax.    
Keenam, cek di google image. Berita hoaks supaya lebih meyakinkan para penerimanya, disertai dengan gambar atau foto pendukung. Ada dua kemungkinan, foto tersebut hasil rekayasa atau fotonya asli dengan judul yang berbeda. Contoh, hoaks pembantain Muslim Rohingya dengan foto peristiwa Tak Bai Thailand 2004. Melalui google image akan diketahui judul atau persitiwa yang sebenarnya dari sebuah foto atau gambar.
Langkah mengenali foto hoaks yakni dengan mendownload foto tersebut atau melakukan screenshot (tangkapan layar). Selanjutnya buka Google Image pada peramban. Foto da[at diseret (drag) ke kolom pencarian Google Image atau dengan memasukkan foto melalui icon kamera. Hasilya dapat diperiksa untuk kebenaran sumber dan judul asli dari foto tersebut.

Dampak Negatif Hoaks

Hoaks yang menjadi viral dapat mengelabui banyak orang. Sedemikian mudah penerima hoaks memforward hoaks yang diterima, berkembang layaknya virus. Hanya dalam hitungan detik, sebuah hoaks dapat menyebar ke jutaan pengguna media sosial. Menurut Bagir Manan, hoaks dapat berkembang dengan pesat merupakan dampak negatifdari kebebasan pers yang tidak bertanggung jawab (Kabar24.com). Sebagai sebuah kebohongan, hoaks memiliki dampak negatif sebagai berikut.
Pertama, hoaks mengakibatkan inefisiensi. Hoaks yang masuk melalui aplikasi media sosial sudah dirancang untuk menarik perhatian. Bagi karyawan yang membaca hoaks saat jam kerja dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi individu atau kantor tempatnya berkerja (Riaumandiri, 2017). Produktivitas karyawan menurun akibat efek mengejutkan hoaks tersebut.
Menurut situs smsconnect.com kerugian uang bagi perusahaan, minimal mencapai Rp 10 juta per tahun. Sedangkan individu mencapai 200 ribu rupiah per tahun. Hanya perlu waktu 10 detik per hari untuk membaca hoaks. Semakin lama membaca hoaks, kerugian semakin bertambah.
Kedua, hoaks menimbulkan permusuhan. Hoaks yang berkonten SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dapat memecah belah masyarakat. Penerima berita cenderung abai dengan prinsip crosscheck. Ujaran kebencian terhadap suku, agama, ras maupun golongan bilamana tidak segera diredam dapat menjadi konflik yang berlarut-larut. Contoh konflik di Poso. Permasalahan berawal dari kesalahpahaman pribadi. Isu ini kemudian disulut dengan label agama. Akhirnya sampai sekarang konflik ini masih menyisakan perih bagi para korban.
Ketiga, penipuan publik. Hoaks ini dibuat nampak ilmiah dan dikeluarkan oleh lembaga resmi. Hoaks ini dikenal dengan istilah pseudo sciences (pengetahuan palsu). Contoh hoaks semacam ini antara lain: (a) vaksin dapat menyebabkan autis; (b) minuman serbuk memiliki kandungan yang berbahaya yang menyebabkan batut dan pengerasan otak; (c) makan udang dengan vitamin C dapat menyebabkan kematian; (d) kabar dari NASA tentang bulan pernah terbelah dan menyatu lagi dan seterusnya.
Hoaks sebagai penipuan publik maka pembuat dan penyebar hoaks dapat dikategorikan sebagai orang munafik (Detik, 2016).  Munafik dalam terminologi Islam memiliki kebiasaan kalau bicara dia berdusta. Dusta-dusta yang dilakukan dengan kemasan religius mudah menipu publik. Apalagi fenomena-fenomena keajaiban yang dikemas sebagai mukjizat. Masyarakat menjadi terpesona dan deengan sukarela menyebarkannya.
Pembuat hoaks menyebarkannya melalui teknologi media sosial. Mereka beranggapan tidak akan ketahuan. Hoaks yang dibuat berasal dari berita-berita lama tetapi dikaitkan dengan peristiwa saat ini. Sesekali hoaks berisi nasihat yang bagus namun ditambahi dengan gambar atau video untuk meyakinkan pembaca. Contoh: hoaks tentang pelaku maksiat yang ditelan bumi. Faktanya, peristiwa tersebut ada pada pesta pernikahan yang berada di lantai 2 atau 3. Karena salah konstruksi lantai tempat pesta tidak kuat menahan jumlah pengunjung yang banyak. Akhirnya lantai gedung runtuh. 
Keempat, menyebabkan kepanikan. Contoh hoaks ini berupa gempa susulan dan tsunami. Akses masyarakat terhadap informasi yang benar dari pemerintah cukup kecil. Ketika membaca atau mendengar berita gempa atau tsunami, siapapun akan panik. Hal ini dapat menimbulkan dampak susulan, yakni penjarahan rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya. 

Sadar Hoaks

Mengingat dampak hoaks yang demikian dahsyat sudah selayaknya masyarakat sadar terhadap hoaks. Kesadaran tersebut ditunjukkan dengan mampu memilah informasi yang masuk ke dalam gawainya. Mengingat masyarakat Indonesia yang demikian plural, khususnya tingkat pendikan maka perlu upaya lebih dalam membangun kesadaran terhadap hoaks.
Pertama, peningkatan literasi masyarakat, khususnya literasi digital. Nukman Luthfie, pengamat media sosial dan IT menyebut literasi masyarakat Indonesia terhadap informasi sangat rendah (Tribunnews.com). Peningkatan literasi digital yakni dengan meningkatkan pemahaman dan kecerdasan masyarakat dalam menyaring berita atau informasi. Masyarakat harus dibiasakan kritis dan terbiasa menyaring sebelum sharing. Literasi yang rendah ditandai dengan hanya membaca judul tanpa memahami isi berita bahkan tanpa membaca isi berita. Jika berita yang dibaca dirasa baik atau menguntungkan kelompoknya langsung screenshoot  dan sharing.
Literasi tentang akibat pidana dari pelaku hoaks juga perlu disampaikan.   Kepolisian Republik Indonesia  menyatakan ancaman bagi penyebar hoaks yakni pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar (Tempo, 2016). Pelaku penyebar hoax  terancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE. Isi pasal tersebut, "Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar”. 
Kedua, membangun kesadaran bahwa menyebarkan hoaks itu dosa. Muhamaddiyah sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia menegaskan, membuat atau menyebarkan berita bohong akan mendapatkan dosa dan adzab yang besar dari Allah SWT (Jurnalislam.com). Muhammadiyah pun berkomitmen dengan menginisisasi Fiqih Informasi yang akan menjadi panduan Warga Muhammadiyah dalam mencerna dan memproduksi Informasi di ranah online terutama di Sosial Media (Tribunnews.com).
Allah SWT berfirman, “Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyun-lah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan
suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian
akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian”.” (Al-Hujurat: 6).
Islam sudah memberikan pedoman pada pemeluknya agar melakukan proses check and recheck dari setiap informasi yang diterima. Sikap ini untuk memastkan informasi yang masuk hoaks atau fakta. Namun, perilaku umat Islam ternyata menunjukkan sebaliknya. Langkah tabayun tersebut jarang dilakukan.

Belajar dari Pengalaman

Akun media sosial yang dimiliki penulis cukup banyak, diantaranya: Facebook, WhatsApp, Instagram, Telegram dan Twitter. Dari sekian media social yang paling banyak penulis akses adalah WhatsApp dan Twitter. Hoaks sering masuk melalui WhatsApp. Hoaks yang penulis terima juga banyak yang berasal dari pendidik.
Ada hoaks yang disebarkan melalui grup dan ada yang melalui pesan pribadi. Hoaks yang disebarkan melalui grup sebagian penulis koreksi melalui grup. Yakni informasi tentang lowongan kerja. Contoh rekrutmen pegawai bandar udara. Tidak hanya di satu tempat. Sebelumnya lowongan ada di bandara Kulon Progo. Selang beberapa bulan ada rekrutmen karyawan Bandara Udara Trunojoyo Sumenep. Konten hoaksnya sama. Bagi penulis, kontennya ada yang tidak masuk akal, yakni gaji setara UMR dengan nominal 6,5 juta rupiah. Padahal UMR di Indonesia tidak ada yang mencapai 3,5 juta.
Sebelum melakukan koreksi, penulis googling terlebih dahulu. Ketik, “Rekrutmen bandar udara, hoaks” bermunculan berita tentang hoaks tersebut. Selain memberi komen bahwa berita itu hoaks, penulis juga memberi tautan bantahan atas hoaks tersebut.
Pengalaman lain, yakni hoaks makan mie dan spaghetti. Hoaks ini sudah ada cukup lama. Namun sebulan yang lalu penulis menerima lagi. Hoaks dengan tajuk “Hati Hati Makan Mie". Hoaks ini dilampiri sebuah video operasi mengeluarkan "Mie" yang menyumbat pada usus. Faktanya yang dikeluarkan dokter bukanlah mie melainkan Parasit Cacing Askariasis. Pesan yang disampaikan hoaks ini adalah jangan makan mie atau spagheti. Sistem pencernaan manusia tidak dapat mencerna makanan semacam mie.
Reaksi penulis atas kiriman video tersebut dengan memberi komentar bahwa kontennya hoaks. Penyebar hoaks bereaksi dengan menyatakan perspektif temuan saat operasi. Faktanya, temuan ini yang menjadi misinformasi. Cacing yang ada di usus diberi judul mie atau spagheti. Setelah menunjukkan tautan-tautan yang membantah hoaks tersebut, akhirnya penyebar hoaks dapat menerima.
Sebenarnya tidak ada keuntungan secara langsung pada penyebar hoaks. Dia seorang guru (ustadz)  dan bukan penjual makanan selain mie dan spaghetti. Penyebar hanya merasa bahwa informasi ini penting untuk disebarkan. Berbagi kabar (namun hoaks) dimaknai sebagai shadaqah ilmu.
Kehadiran hoaks merupakan dampak pengiring dari berkembangnya media sosial. Menafikkan keberadaanya sesuatu yang mustahil. Bijak dan cerdas dalam menggunakan media sosial merupakan solusi. Tangkal hoaks dengan “Saring sebelum sharing”.   
#antihoax #marimas #pgrijateng

No comments:

 

blogger templates | Make Money Online