Oleh: Sutikno
SDN Karangmlati 2 Demak
Judul artikel ini menginatkan penulis pada jargon salah satu partai
tentang korupsi. Jargon tersebut yaitu “Katakan Tidak pada Korupsi”. Korupsi
dianggap bahaya laten sehingga jargon tersebut layak disandangkan padanya. Tingkat
bahaya hoak dapat disandingkan dengan korupsi.
Ada sebuah film dengan
judul The Hoax yang dirilis pada
tahun 2007. Film ini dibintangi Richard Gere yang berperan sebagai Clifford
Irfing. Film ini berkisah tentang penipuan yang dilakukan seorang penulis
bernama Clifford Irving yang merekayasa sebuah biografi seorang miliuner
Amerika bernama Howard Hughes. Inti dari film Irving membuat biografi
berdasarkan imajinasinya sendiri karena dia tidak pernah melakukan wawancara
dengan Howard Hughes (www.kapanlagi.com).
Kata hoaks ternyata sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
daring. Hoaks diartikan sebagai berita bohong (https://kbbi.kemdikbud.go.id). Sedangkan bohong bermakna tidak
sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya.
Sedangkan menurut kamus Wikipedia, hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar
adanya (https://id.wikipedia.org). Kamus Merriam-Webster mengartikan hoaks
sebagai to trick into believing or
accepting as genuine something false and often
preposterous _werehoaxed by the website. Hoaks adalah
suatu tipuan yang digunakan untuk mempercayai sesuatu yang salah dan seringkali
tidak masuk akal melalui media online (https://www.merriam-webster. com).
Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan hoaks adalah berita bohong yang dibuat dengan sengaja
untuk mengelabui orang lain dan disebarkan melalui media sosial. Pada peristiwa
hoaks ada kesengajaan yang direncanakan dan dibuat sedemikian rupa seolah-olah
benar adanya. Pembaca hoaks disajikan sedikit berita yang benar, yakni
betul-betul terjadi namun ditambahi dengan berita palsu. Penerima hoaks pun
tidak menyadarinya.
Perkembangan teknologi
demikian pesat. Hal ini diikuti dengan perkembangan media sosial. Indonesia
termasuk negara dengan penduduk yang banyak memanfaatkan internet. E-Marketer,
sebuah lembaga riset pasar merilis
populasi netter Indonesia mencapai 83,7 juta orang pada
tahun 2014. Diperkirakan pada tahun 2017 mencapai 112 juta orang. Sebuah
peningkatan yang fantastis mengalahkan Jepang sebagai negara maju. Jepang
menduduki peringkat 5. Data Kominfo menunjukkan 95% netter menggunakan internet untuk mengakses media social (Kominfo,
2013).
Kenali
Hoaks
Hoaks yang beredar di media sosial setidaknya berupa teks, gambar dan
video. Hoaks-hoaks tersebut dapat dikenali dengan cara melakukan uji silang.
Kebanyaan pembaca kabar hoaks langsung menyebarkan tanpa memeriksa dulu
kebenaran dari berita hoaks tersebut. Berita hoaks dapat dikenali dengan
ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, judul berita berlebihan. Tujuan dari berita hoaks dengan
membuat judul yang berlebihan untuk menarik minat pembaca. Semakin aneh semakin
menarik minat (Tribunnews, 2017). Padahal isinya belum tentu menggambarkan
judul berita. Bilamana sesuai dengan minat pembaca atau ada keinginan berbagai
dengan yang lain, maka berita tersebut langsung menyebar dimana-mana. Contohnya
hoaks tentang makan mie dan coklat. Judul beritanya, “Keracunan arsen sampai
keluar darah bercampur nanah dari kelima panca indera”.
Kedua, isi berita berupa ancaman atau hasutan. Pesan yang disampaikan
bernada provokatif (Susanto, 2017). Berita hoaks semacam ini biasanya beredar
antara kelompok atau komunitas. Isi berita dapat berupa memuji yang berlebihan
atau menghujat kelompok lain. Contoh, hoaks berisi info bahaya pemanis buatan
yang mengatasnamakan Ikatan Dokter Indonesia. Contoh lain, pada tanggal 31
Januari 2017 terjadi kerusuhan antara Front
Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat
Bawah Indonesia (GMBI). Pembakaran markas GMBI oleh terjadi lantaran ada hoaks
di media social (Wiwaha, 2017).
Ketiga, gambar tidak alami. Gambar yang disebarkan merupakan hasil
editan sehingga bagi yang melihat hanya sekilas dapat tertipu. Aplikasi semacam
Photoshop bagi yang sudah mahir dapat
digunakan untuk menggabungkan dua gambar yang berbeda menjadi satu gambar baru.
Gambar ini kemudian diberi judul yang menarik. Misalnya, artis A selingkuh
dengan B dan lain-alin.
Keempat, mengandung kata-kata ajakan atau perintah. Paragraf terakhir
pada pesan hoaks ada yang diselipi dengan kalimat, “Sebarkan ke keluarga dan
teman Anda, jangan berhenti di tangan Anda”. “Hanya butuh waktu tiga menit,
Anda tidak akan rugi”, “Jangan hapus pesan ini sebelum anda menforward-nya…” dan lain-lain.
Kelima, lakukan saring sebelum sharing
Berita hoaks beredar dengan cepat di
media sosial. Berita-berita tersebut harus disaring dengan melakukan uji silang
(crosscheck) melalui mesin-mesin
pencari. Mesin pencari Bing, Google, Bing dan
lainnya dapat dimanfaatkan untuk membantu memastikan kebenaran sebuah berita.
Bahkan media konvensional semacam koran telah menyediakan rubrik khusus
membahas berita-berita hoaks. Misalnya Jawa Pos dengan rubrik “Hoaks atau
Bukan”. Pada rubrik ini dibahas hoaks
yang sedang trend kemudian dibahas sisi ilmiah dan kerancuan isi berita hoaks. Pemuda
Muhammadiyah juga meluncurkan aplikasi penyaring berita hoaks, yaitu ApssMu (Syadri,
2017). Bekerja sama dengan PT Inovasi Mitra Terpadu (IMT), aplikasi ini mengatur
teknis filterisasi informasi hoax.
Keenam, cek di google image.
Berita hoaks supaya lebih meyakinkan para penerimanya, disertai dengan gambar
atau foto pendukung. Ada dua kemungkinan, foto tersebut hasil rekayasa atau
fotonya asli dengan judul yang berbeda. Contoh, hoaks pembantain Muslim
Rohingya dengan foto peristiwa Tak Bai Thailand 2004. Melalui google image akan
diketahui judul atau persitiwa yang sebenarnya dari sebuah foto atau gambar.
Langkah mengenali foto hoaks yakni dengan mendownload foto tersebut atau
melakukan screenshot (tangkapan layar).
Selanjutnya buka Google Image pada peramban. Foto da[at diseret (drag) ke kolom pencarian Google Image
atau dengan memasukkan foto melalui icon kamera. Hasilya dapat diperiksa untuk kebenaran sumber dan judul
asli dari foto tersebut.
Dampak
Negatif Hoaks
Hoaks yang
menjadi viral dapat mengelabui banyak orang. Sedemikian mudah penerima hoaks
memforward hoaks yang diterima,
berkembang layaknya virus. Hanya dalam hitungan detik, sebuah hoaks dapat
menyebar ke jutaan pengguna media sosial. Menurut Bagir Manan, hoaks dapat
berkembang dengan pesat merupakan dampak negatifdari kebebasan pers yang tidak
bertanggung jawab (Kabar24.com). Sebagai sebuah kebohongan, hoaks memiliki
dampak negatif sebagai berikut.
Pertama,
hoaks mengakibatkan inefisiensi. Hoaks yang masuk melalui aplikasi media sosial
sudah dirancang untuk menarik perhatian. Bagi karyawan yang membaca hoaks saat
jam kerja dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi individu atau
kantor tempatnya berkerja (Riaumandiri, 2017). Produktivitas karyawan menurun
akibat efek mengejutkan hoaks tersebut.
Menurut
situs smsconnect.com kerugian uang bagi perusahaan, minimal mencapai Rp 10 juta
per tahun. Sedangkan individu mencapai 200 ribu rupiah per tahun. Hanya perlu waktu
10 detik per hari untuk membaca hoaks. Semakin lama membaca hoaks, kerugian
semakin bertambah.
Kedua, hoaks
menimbulkan permusuhan. Hoaks yang berkonten SARA (Suku, Agama, Ras dan
Antargolongan) dapat memecah belah masyarakat. Penerima berita cenderung abai
dengan prinsip crosscheck. Ujaran
kebencian terhadap suku, agama, ras maupun golongan bilamana tidak segera
diredam dapat menjadi konflik yang berlarut-larut. Contoh konflik di Poso.
Permasalahan berawal dari kesalahpahaman pribadi. Isu ini kemudian disulut
dengan label agama. Akhirnya sampai sekarang konflik ini masih menyisakan perih
bagi para korban.
Ketiga,
penipuan publik. Hoaks ini dibuat nampak ilmiah dan dikeluarkan oleh lembaga
resmi. Hoaks ini dikenal dengan istilah pseudo
sciences (pengetahuan palsu). Contoh hoaks semacam ini antara lain: (a)
vaksin dapat menyebabkan autis; (b) minuman serbuk memiliki kandungan yang
berbahaya yang menyebabkan batut dan pengerasan otak; (c) makan udang dengan
vitamin C dapat menyebabkan kematian; (d) kabar dari NASA tentang bulan pernah
terbelah dan menyatu lagi dan seterusnya.
Hoaks
sebagai penipuan publik maka pembuat dan penyebar hoaks dapat dikategorikan
sebagai orang munafik (Detik, 2016).
Munafik dalam terminologi Islam memiliki kebiasaan kalau bicara dia
berdusta. Dusta-dusta yang dilakukan dengan kemasan religius mudah menipu
publik. Apalagi fenomena-fenomena keajaiban yang dikemas sebagai mukjizat.
Masyarakat menjadi terpesona dan deengan sukarela menyebarkannya.
Pembuat hoaks
menyebarkannya melalui teknologi media sosial. Mereka beranggapan tidak akan
ketahuan. Hoaks yang dibuat berasal dari berita-berita lama tetapi dikaitkan
dengan peristiwa saat ini. Sesekali hoaks berisi nasihat yang bagus namun
ditambahi dengan gambar atau video untuk meyakinkan pembaca. Contoh: hoaks
tentang pelaku maksiat yang ditelan bumi. Faktanya, peristiwa tersebut ada pada
pesta pernikahan yang berada di lantai 2 atau 3. Karena salah konstruksi lantai
tempat pesta tidak kuat menahan jumlah pengunjung yang banyak. Akhirnya lantai gedung
runtuh.
Keempat,
menyebabkan kepanikan. Contoh hoaks ini berupa gempa susulan dan tsunami. Akses
masyarakat terhadap informasi yang benar dari pemerintah cukup kecil. Ketika
membaca atau mendengar berita gempa atau tsunami, siapapun akan panik. Hal ini
dapat menimbulkan dampak susulan, yakni penjarahan rumah-rumah yang
ditinggalkan penghuninya.
Sadar Hoaks
Mengingat
dampak hoaks yang demikian dahsyat sudah selayaknya masyarakat sadar terhadap
hoaks. Kesadaran tersebut ditunjukkan dengan mampu memilah informasi yang masuk
ke dalam gawainya. Mengingat masyarakat Indonesia yang demikian plural,
khususnya tingkat pendikan maka perlu upaya lebih dalam membangun kesadaran
terhadap hoaks.
Pertama, peningkatan
literasi masyarakat, khususnya literasi digital. Nukman Luthfie, pengamat media
sosial dan IT menyebut literasi masyarakat Indonesia terhadap informasi sangat rendah
(Tribunnews.com). Peningkatan literasi digital yakni dengan meningkatkan
pemahaman dan kecerdasan masyarakat dalam menyaring berita atau informasi. Masyarakat
harus dibiasakan kritis dan terbiasa menyaring sebelum sharing. Literasi yang rendah ditandai dengan hanya membaca judul
tanpa memahami isi berita bahkan tanpa membaca isi berita. Jika berita yang
dibaca dirasa baik atau menguntungkan kelompoknya langsung screenshoot dan sharing.
Literasi
tentang akibat pidana dari pelaku hoaks juga perlu disampaikan. Kepolisian
Republik Indonesia menyatakan ancaman
bagi penyebar hoaks yakni pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar
(Tempo, 2016). Pelaku penyebar hoax terancam Pasal 28 ayat 1
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE. Isi
pasal tersebut, "Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana
maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar”.
Kedua,
membangun kesadaran bahwa menyebarkan hoaks itu dosa. Muhamaddiyah sebagai salah
satu ormas Islam di Indonesia menegaskan, membuat atau menyebarkan berita bohong akan mendapatkan dosa dan adzab
yang besar dari Allah SWT (Jurnalislam.com). Muhammadiyah pun berkomitmen dengan menginisisasi
Fiqih Informasi yang akan menjadi panduan Warga Muhammadiyah dalam mencerna dan
memproduksi Informasi di ranah online terutama di Sosial Media (Tribunnews.com).
Allah SWT berfirman, “Wahai
orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan
membawa suatu berita penting, maka tabayyun-lah (telitilah dulu), agar jangan
sampai kalian menimpakan
suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian
akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian”.” (Al-Hujurat: 6).
suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian
akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian”.” (Al-Hujurat: 6).
Islam sudah memberikan pedoman pada pemeluknya agar
melakukan proses check and recheck
dari setiap informasi yang diterima. Sikap ini untuk memastkan informasi yang
masuk hoaks atau fakta. Namun, perilaku umat Islam ternyata menunjukkan
sebaliknya. Langkah tabayun tersebut
jarang dilakukan.
Belajar
dari Pengalaman
Akun media sosial yang dimiliki penulis cukup banyak, diantaranya:
Facebook, WhatsApp, Instagram, Telegram dan Twitter.
Dari sekian media social yang paling banyak penulis akses adalah WhatsApp dan Twitter. Hoaks sering masuk melalui WhatsApp. Hoaks yang penulis
terima juga banyak yang berasal dari pendidik.
Ada hoaks yang disebarkan melalui grup dan ada yang melalui pesan
pribadi. Hoaks yang disebarkan melalui grup sebagian penulis koreksi melalui
grup. Yakni informasi tentang lowongan kerja. Contoh rekrutmen pegawai bandar
udara. Tidak hanya di satu tempat. Sebelumnya lowongan ada di bandara Kulon
Progo. Selang beberapa bulan ada rekrutmen karyawan Bandara Udara Trunojoyo
Sumenep. Konten hoaksnya sama. Bagi penulis, kontennya ada yang tidak masuk
akal, yakni gaji setara UMR dengan nominal 6,5 juta rupiah. Padahal UMR di
Indonesia tidak ada yang mencapai 3,5 juta.
Sebelum melakukan koreksi, penulis googling
terlebih dahulu. Ketik, “Rekrutmen bandar udara, hoaks” bermunculan berita
tentang hoaks tersebut. Selain memberi komen bahwa berita itu hoaks, penulis
juga memberi tautan bantahan atas hoaks tersebut.
Pengalaman lain, yakni hoaks makan mie dan spaghetti. Hoaks ini sudah
ada cukup lama. Namun sebulan yang lalu penulis menerima lagi. Hoaks dengan
tajuk “Hati Hati Makan Mie". Hoaks ini dilampiri sebuah video operasi
mengeluarkan "Mie" yang menyumbat pada usus. Faktanya yang
dikeluarkan dokter bukanlah mie melainkan Parasit Cacing Askariasis. Pesan yang
disampaikan hoaks ini adalah jangan makan mie atau spagheti. Sistem pencernaan
manusia tidak dapat mencerna makanan semacam mie.
Reaksi penulis atas kiriman video tersebut dengan memberi komentar bahwa
kontennya hoaks. Penyebar hoaks bereaksi dengan menyatakan perspektif temuan
saat operasi. Faktanya, temuan ini yang menjadi misinformasi. Cacing yang ada
di usus diberi judul mie atau spagheti. Setelah menunjukkan tautan-tautan yang
membantah hoaks tersebut, akhirnya penyebar hoaks dapat menerima.
Sebenarnya tidak ada keuntungan secara langsung pada penyebar hoaks. Dia
seorang guru (ustadz) dan bukan penjual
makanan selain mie dan spaghetti. Penyebar hanya merasa bahwa informasi ini
penting untuk disebarkan. Berbagi kabar (namun hoaks) dimaknai sebagai shadaqah
ilmu.
Kehadiran hoaks merupakan dampak pengiring dari berkembangnya media
sosial. Menafikkan keberadaanya sesuatu yang mustahil. Bijak dan cerdas dalam
menggunakan media sosial merupakan solusi. Tangkal hoaks dengan “Saring sebelum
sharing”.
#antihoax #marimas #pgrijateng
No comments:
Post a Comment